Jika harus disimpulkan dalam satu kata untuk menggambarkan bagaimana hari ini, Sunghoon bisa bilang kalau itu mengherankan — dalam artian yang positif dan bisa dibilang menyenangkan. Pasalnya, Sunghoon tak pernah mengira bahwa dirinya dan Granma mampu berbicara panjang lebar layaknya sudah akrab. Granma Jake mudah sekali membuat suasana yang nyaman serasa seperti rumah sendiri. Kehadiran Sunghoon bukan hanya sekedar orang asing yang datang berkunjung, namun seperti dianggap cucu sendiri. Minta dibantu memasak, memotong sayur, dan lain sebagainya. Mungkin tak semuanya nyaman diperlakukan begitu di pertemuan pertama tapi untuk Sunghoon hal tersebut dapat membantu mengurangi kecanggungan karena merasa terlibat. Malahan, bisa dibilang ia banyak menghabiskan waktu bersama Granma dibanding dengan Jake.
“Kenapa gak dari lama kamu kenalin temen kamu ini ke Granma?”
“Temen baru, Granma. Kenal juga baru sebulan ya?”
“Iya, kayaknya. Itu juga kenalannya gak sengaja, Granma. Dibantuin sama Jake pas lagi pingsan.” Aneh karena Sunghoon biasanya terlalu malu untuk mengungkap cerita ini, tapi malah nyaman saja mengadu pada Granma.
Bisa jadi berada di sini membuatnya rindu akan rumah sendiri.
“Pasti karena kurang makan ya itu makanya bisa pingsan. Keliatan ini kurus banget. Ayo makan yang banyak sekarang.” Granma sudah bersiap-siap mengambil piring untuk kali kedua namun cepat-cepat Sunghoon hentikan.
“Nggak, Granma! Udah cukup, udah kenyang banget. Janji abis ini Hoon gak skip makan.” Ia bersikap memelas sambil menyatukan kedua tangan di depan muka yang kemudian mengundang tawa Jake.
“Granma, Sunghoon kan bukan anak kecil lagi. Pasti kalo laper juga bakal makan.” Jake menyela, berniat membela.
“Makan itu sesuai sama jamnya, jangan nunggu laper dulu baru makan. Anak jaman sekarang kalo udah di depan gadget lupa laper, lupa ngantuk.” Malah dapet omelan yang buat Jake dan Sunghoon meringis saat bertukar pandang.
“Kecuali Jake, ya? Soalnya ni anak seharian gak pegang hape juga oke.”
“Dih, ngadu.”
“Kelewatan dia ini, Hoon. Sampe suka lupa bales pesan Granma! Itu kemarin dia jatuh kalo gak Jay yang bilang Granma, gak bakal dia bilang juga.”
“Kan maksudnya biar gak bikin khawatir…”
“Justru lebih bikin khawatir kalo gak ada kabarnya!”
“Kok jadi ngomelin Jake, sih, Granma!”
Sunghoon mengulas senyum saat memperhatikan keduanya yang sudah mulai adu mulut. Terlihat betul memang Jake sangatlah dekat dengan neneknya dan terasa pula betapa keduanya saling menyayangi. Seketika dada Sunghoon mencelos karena jadi rindu akan sosok adiknya yang juga senang beradu mulut tiap ia pulang ke rumah. Awalnya dipikir hanya karena sang adik lagi dalam masa-masa pertumbuhan sehingga jadi lebih sensitif, tapi kalau melihat Jake dan neneknya sekarang, bisa jadi adiknya itu rindu padanya?
Mungkin.
Usai makan malam, barulah Sunghoon beranjak pamit karena tak ingin mengganggu waktu yang bisa dipakai istirahat oleh Granma karena sudah seharian memasak dan menjamu Sunghoon macam-macam, meski Granma tak ingin Sunghoon pulang dan memintanya menginap saja.
“Granma, Sunghoon juga kan punya kegiatan sendiri. Udah mending sekarang Granma tidur. Biar piring kotornya aku yang cuci terus aku mau anter Sunghoon pulang,” bujuknya seraya mengantar Granma masuk ke salah satu kamar.
Selang beberapa menit kemudian baru Jake keluar sambil menutup pintu perlahan dan kemudian mengacungkan bujari sambil tersenyum lebar. Sunghoon mau tak mau terkekeh dibuatnya.
“Gue nyuci piring bentar baru kita keluar gimana?”
“Gue bantuin, deh.”
“Gak usah, lo duduk aja di situ. Bentar doang kok segini mah.”
Tak memiliki banyak tenaga untuk mendebat Jake, Sunghoon pun menurut dan duduk. Baru ketika akhirnya berduaan dengan Jake, ia jadi teringat kembali apa yang sedang mengganggu hatinya.
“Gue tuh mau curhat, tapi udah malem.”
“Emang kenapa? Cerita aja lagi.”
Sunghoon memandangi punggung Jake dengan sangsi. Permintaan soal curhat sebelum ia berangkat ke sini itu terlontar begitu saja tanpa dipikirkan. Namun setelah direnungkan, ia jadi ragu perlukah dirinya bercerita pada Jake? Bukan masalah karena ia masih belum percaya dengan Jake, tapi masih merasa sangat canggung sebab Jake masih terbilang teman baru. Rasa takut membuat Jake merasa tidak nyaman inilah yang membuatnya bimbang.
“Malah diem.”
“Sebentar, gue masih bingung.”
Dibiarkan suara air keran dan suara gesekan keramik melingkupi hening dari keduanya yang belum membuka mulut. Satu menunggu, satu lagi tengah menimang-nimang.
“Anyway, baju lo beneran muat ya.” Yang keluar dari mulut Sunghoon mengkhianati yang menunggu.
“Kan udah gue bilang. Beda tinggi beberapa senti doang mah gak ngaruh.”
Sunghoon mencibir sambil menopang dagu. Dalam hati kelabakan karena belum menemukan hal lain yang bisa dibicarakan agar tidak perlu menumpahkan keluh-kesahnya yang terasa sepele. Jake sudah selesai mencuci piring dan tengah mengeringkan kedua tangannya dengan handuk kecil.
“Lo gak bawa mobil kan? Gue anter ya?”
“Gak usah, gue bisa naik taksi.”
“Makan duit. Bisa lo pake jajan apa belanja. Gue anter aja sekalian gue mau ke minimarket beli sesuatu.” Jake meninggalkannya sebentar untuk masuk ke dalam kamar dan keluar sudah mengenakan jaket berikut melempar yang ia bawa di tangan ke arah Sunghoon.
Sunghoon menerimanya namun masih bingung kenapa ia harus pakai jaket segala. “Ya udah, lo anter gue sampe minimarket terus gue cari taksi dari sananya.”
“Lo kalo mau ambil jalan ribet gitu gak gue bolehin pulang.”
“Dih?”
“Gue yang udah minta lo ke sini dadakan. At least let me repay you for making my Granma happy today.”
“You didn’t owe me anything. Kan udah gue bilang, gue beneran kosong.”
Jake menghela napas, “Lo emang gak bisa ya nerima apa yang orang tawarin ke lo?”
“Gue gak enak ngerepotin lo.”
“Gue juga gak enak udah ngerepotin lo.”
“Tapi gue gak merasa direpotin?”
“Begitu pun gue.”
Berdebat dengan Jake seperti tak akan ada habisnya. Ia akan selalu punya cara untuk membalas tiap omongan Sunghoon. Dirinya memilih menyerah karena jika dilanjutkan hanya akan menguras energi yang sekarang tak banyak ia miliki.
“Oke, tapi kenapa pake jaket segala?”
“Naik motor. Gak papa, kan? Gue males ngeluarin mobil.”
“Gak papa, anjing. Jangan kasih pertanyaan seakan-akan gue ini fragile.”
Jake tertawa, “Siapa tau lo alergi udara malem. Lagian kemana emang mobil lo?”
“Direparasi.”
“Tuh kan gue gak enak.”
“Bacot.”
“Lo kesini naik apa tadi?”
“Naik taksi.”
“Oke, gue ganti. Berapa?”
“Gak mau! Kalo lo ganti gue pulang sendiri.”
Jake mendecak sebal tapi kemudian menurut. Keduanya berhasil menutup argumen malam itu dengan ancaman yang dilontarkan Sunghoon. Tak berapa lama setelah mengeluarkan motor dari garasi, keduanya sudah meninggalkan rumah Jake jauh di belakang.
“Ini helm yang gue pake udah dipake berapa orang?”
“Banyak.”
“Cih, womanizer.”
“Kenapa nyasar ke situ? Yang pake temen-temen gue lah.”
Sebelum sempat Sunghoon merespon, Jake sudah terlebih dulu menambahkan, “Udah gue cuci kok itu. Belum ada yang pake lagi abis dicuci selain lo.”
“Hampir gue lempar.”
“Kenapa lo mikir gue womanizer?”
“Karena lo baiknya kelewatan.”
“Korelasinya?”
“Biasanya yang baiknya kelewatan aslinya buaya.”
“Heeseung buaya dong?”
Sunghoon memukul helm Jake sebagai jawaban kalau Heeseung-nya berbeda. Meski ia tak yakin lagi. Sekali lagi kepalanya jadi dipenuhi akan hal yang sudah mengganggunya soal Heeseung dan kembali ia termenung sampai tak sadar kalau Jake sudah memarkir motornya di depan minimarket yang lampunya terang benderang hias jalanan malam.
“Turun dulu.” perintah Jake buat Sunghoon tersadar dan segera turun dari motor sambil melepas helmnya.
“Gue nunggu di sana aja, ya? Udah gak punya tenaga lagi buat jalan. Harus gue simpen tenaganya biar bisa jalan sampe ke kamar.” Sunghoon menunjuk ke area duduk yang terletak di samping depan bangunan.
“Lebay lo. Ya udah, sana duduk.”
Sunghoon menghela napas berat saat melempar dirinya ke bangku yang berderit ketika bergesekan dengan alas yang kasar. Jika teringat akan Choco Mint, entah kenapa dadanya jadi sesak. Mau marah, mau sedih, tapi teringat kalau dia itu sandal jepit. Gak punya hak. Dia yang memutuskan untuk naksir Heeseung, tentu saja pemuda itu tak punya kewajiban untuk membalasnya. Meski kebaikannya sering bikin salah paham, tetap saja perasaannya tanggung jawabnya sendiri. Hanya saja, yang membuat Sunghoon tidak habis pikir adalah mengapa ia bisa berada di sana bersama Sunghoon sedangkan memikirkan sosok orang lain yang menyukai Choco Mint itu.
“Lo apa gak takut barang lo raib diambil orang?” Pertanyaan itu membuyarkan lamunannya, Lagi, Jake datang ketika dirinya mulai larut dalam pikirannya sendiri.
“Hah?”
“Gue duduk di sini ada tiga menitan. Lo gak sadar. Gimana kalo gue bukan gue tapi copet yang sadar ada orang lagi bengong sampe bego?”
“Kenapa gak bilang gue kalo udah kelar?” Sunghoon menimpali senewen.
“Ngetes.”
“Brengsek.” Sunghoon sudah beranjak bangkit, berpikir mereka akan segera jalan lagi tapi Jake masih duduk santai di tempatnya sambil meletakkan bungkusan plastik di atas meja.
“Sini dulu. Katanya mau cerita?”
“Gak jadi. Gue cerita sama Jungwon aja.”
“Kenapa? Lagian Jungwon udah capek sama kegiatan angkatan dia, pasti udah molor. Nih gue masih melek dan seger, DAN bersedia buat dengerin cerita lo.”
Bibir Sunghoon mengerucut sedikit sembari menimang-nimang apakah dirinya harus cerita atau tidak.
“Honestly, I’m not sure.”
“Menurut lo gue belum jadi temen yang tepat buat itu?”
“Bukan.”
“Gak enak lagi?”
“Iya…”
“Gue sampe nawarin dua kali, tandanya gue merasa enak. Lo merasa gak enak buat ego lo atau buat gue?”
Sunghoon memicingkan matanya sebal, namun kembali duduk di kursinya sambil bersungut-sungut, “Sumpah, mulut lo itu nyebelin.”
“Gue gak maksa, kok. Kalo emang beneran gak bisa sama gue gak papa. Tapi kalo alasan lo cuma karena gak enak sama gue, ya gue luruskan kalo gue enak-enak aja.”
Sunghoon terdiam. Nampaknya masih ingin mengurangi kadar takutnya. Sembari menunggu, Jake mengeluarkan sesuatu dari balik tas plastik hitam dan menyodorkannya pada Sunghoon.
“Apaan?”
“Es krim.”
“Lo nyuruh gue pake jaket karena udara malem, tapi ngasih gue es krim.”
“Gak mau?”
“Kalo udah ngasih gak boleh diambil lagi.” Sunghoon merebut es krim tersebut dari tangan Jake. Selagi pemuda itu terkekeh dan fokus pada es krim yang ada di tangan, Sunghoon membaca bungkusan es krim yang dibelikan olehnya.
Es krim rasa kopi.
Dadanya kembali dirasa sesak.
“Kok lo tau gue suka kopi?”
“Lah, lo pernah ngomong.”
“Kok lo bisa inget?”
“Gue belum pikun, Yang Mulia.”
“Kenapa lo bisa inget tapi dia nggak?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dan tak hanya membuat Jake terkejut karena diutarakan tiba-tiba, namun dirinya sendiri pun dibuat terperanjat. Tak sadar telah membiarkan pikirannya terbentuk dalam kalimat yang terasa kurang pantas. Seakan membandingkan keduanya yang jelas tak bisa dibandingkan.
Jake tak merespon dan kembali melanjutkan kegiatannya membuka bungkus es krim miliknya dan menikmati isinya dengan tenang.
“Makan dulu es krim lo. Biar kepala lo dingin.”
Rasanya lega saat Jake membuka mulut, ia kira Jake akan merasa kesal padanya karena dibandingkan dengan orang lain secara tiba-tiba dan tanpa diminta.
“Jungwon suka Java Chip Frappucino, kan?”
“Kenapa jadi bahas Jungwon?”
“Bener?”
“Bener.”
“I’m just happened to have a good memory, that’s all. Buat ngejawab pertanyaan lo.”
“Oh.”
“So, Heeseung said something?”
“Gue gak suka Choco Mint.”
“Gue juga.”
“Tapi Bang Heeseung beliin gue Choco Mint.”
“Prank?”
“I wish. Gue mikirnya dia ngasih Choco Mint sambil bilang kalo itu adalah minuman favorit gue adalah iseng belaka terus di tengah jalan dia bilang bercanda dan beliin gue Vanilla Latte.”
Keputusan Jake untuk tidak merespon cukup bijak karena Sunghoon kembali melanjutkan dengan berapi-api, “Gue kenal dia kan juga dari masih maba. Gue sering bilang gue benci Choco Mint. Bukan buat ngode, kalo lagi ada bahasan soal minuman aja. Terus gue lanjut dengan memuja-muji kopi yang dia bales sambil mewanti-wanti perhatian, ‘awas lambung lo kena’, but then he pull this kind of shit?”
“Kenapa lo gak bilang aja?”
“Gak bisa.”
“Gak enak?”
“Iya. Udah bagus gue masih diajakin jalan.”
“You place your bar too low, Hoon. Maksud gue, gimana pun dia ngeliat lo saat ini, temen atau gebetan, who knows, ngajak jalan is not something grand sampe lo bisa ngomong gitu dan mikir lo gak bisa ngomong sesuatu.”
“Buat lo.”
“Harusnya buat lo juga. Jangan karena lo yang naksir, lo jadi merasa harus merendahkan diri lo di depan orang yang lo suka. Ngejaga perasaan orang yang lo suka biar gak canggung, karena lo takut orang itu jadi berjarak sama lo. Udah pernah dibilangin Jungwon kan lo? Beda kepala gak bikin orang ninggalin lo. Ya, ini sama aja konsepnya. A little reminder will not offend someone and make them leave you. Malah lo ngasih tau ke orang itu buat merhatiin kenyamanan lo juga. Hubungan kan dua arah. Bukan cuma lo yang ngejer koneksi terus baru ketemu di ujung. Ketemu ya di tengah.”
“Omongan lo kayak Bang Heeseung naksir gue aja.”
“Gak naksir pun, dia temen lo kan? Apa kalo hati lo dipatahin dia, lo gak mau temenan lagi sama dia?”
“Butuh waktu, sih… Tapi gue gak mau kehilangan dia sebagai temen gue juga. Just like Jungwon he’s been there when I’m at my lowest.”
Entah sejak kapan Jake sudah menghabiskan es krimnya, Sunghoon sampai tak sadar. Sementara ia malah hampir saja membiarkan es krimnya meleleh ke tangan.
“Kalo Heeseung sampe menjauh gara-gara ngerasa salah atau canggung udah lupa sama rasa minuman favorit lo, lo marahin kayak marahin gue.”
“Gimana?”
“Lebay banget lo.”
Sunghoon kesal akan jawabannya tapi sudut bibirnya yang melengkung naik mengkhianati sebalnya. Maka untuk menutupinya, ia merutuk, “Dih, anjing.”
“Your flaw is not the reason that you should cheapen yourself. ‘Gue gak punya temen, karena mereka mau jadi temen buat orang kayak gue, gue harus begini begitu…’ yang akhirnya malah memendam apa yang lo rasa demi, yang menurut lo, kenyamanan mereka.”
“Lo bisa stop baca pikiran gue, gak?”
“Pikiran jelek lo keliatan dari tingkah laku lo.”
“Tapi, Jake… Kalo masalah lupa mungkin gue gak akan sejelek ini mood-nya. Yang gue pikirin selain lupa tuh…” Agak susah buat Sunghoon melanjutkan kalimatnya.
Jake menunggu dalam tanya dari salah satu alis yang terangkat naik.
“Dia gak ngeliat gue.”
“Ngeliat siapa?”
“Menurut lo siapa?”
“Jujur sama gue.”
“Apa?”
“Lo bukan hantu, kan?”
“Tiap berhenti di lampu merah gue akan pukulin helm lo lima kali.”